Hari itu, jagad raya menundukkan kepala tanda ta’zim menyambut sang best of the best makhluq dari Nabi Adam AS sampai akhir zaman. Langit menangis tidak kuat membendung air mata, bumi lesu dan senyap seketika, laut bergelombang bersuka ria. Itulah hari yang ditunggu-tunggu, tanggal 12 Rabi’ul Awwal Tahun Gajah. Sesosok makhluk lahir dari rahim yang suci wajahnya memancarkan pesona tiada tara yang keluar dari rahim seorang ibunda yang suci Aminah. Siapakah beliau ? Siapalagi kalau bukan Nabi kita Muhammad bin Abdullah SAW yang kelak akan menyelamatkan manusia dari dahsyatnya kobaran neraka.
Cerpen : Senyummu menggantung di ujung jarum jam
Semua berawal dan akan berakhir di malam ini. Dalam sekedip malam diman formasi gemintang menabur tahta langit. Selimut kegelapan terluas yang bahkan membuat matahari tertidur pulas. Dalam sekedip malam bisu dimana bumi menggema, udara membahana, gunung-gunung bersahutan, lautan menari bersama ombaknya, dan teriakkan kegembiraan dari ujung bumi, entah bagian mana. Yang pasti semua berawal dan akan berakhir di malam ini. Malam Maulid Nabi.
Malam itu adalah awal dari semuanya, bertempat di pondok pesantren ayahku, acara maulid akbar itu berlangsung. Aku menunduk sembari mengucap dzikrullah, kakiku terasa gemetar saat melangkah menaiki panggung raksasa.
Aku sudah yakin dari awal sekalipun ratusan tatapan mata seolah berusaha menguliti wajahku. “ ya Allah, jauhkanlah aku dari zina mata dan zina hati ”, gumamku. Aku menarik nafas, tanganku kini telah menggenggam mikrophone dan saat nasyid-nasyid kulantunkan semua wajah seolah terpukau tepat saat kuangkat wajahku dan dari ratusan wajah itu entah mengapa mataku hanya dapat melihat senyuman itu, yaitu senyumanmu. Dengan guratan wajah bijak. Tatapan mata yang menyiratkan ketulusan, bukan nafsu. Entah mengapa melihat senyuman itu, pipiku langsung memerah, jantungku berpacu memaksa otot-otot tanganku melemas, saat kusadari itu, wajahku segera berpaling seraya beristighfar. Tapi tahukah ku, dalam hati do’a itu tiba-tiba mencuat tanpa kusadari.
“ semoga engkaulah lelaki itu, ya Allah semoga dialah Lelaki seperti rasulullah yang kukagumi ”
Sejak dulu aku senang bersholawat, bahkan mungkin bukan kebetulan ayah memberiku nama “ Nadia Mar’atussholla”, yang artinya Nadia Wanita Sholawat. Semua itu karena aku begitu mengagumi sosok sayyid Muhammad SAW, Lelaki bijak penuh kasih namun tegas. Pemimpin penuh pengorbanan bagi umatnya., yang tetesan darahnya ialah bukti cintanya bagi umat. Tetesan darahnya ialah bukti perjuangannya. Tetesan keringatnya ialah bukti perjuangannya. Tegar sekalipun manusia memusuhinya, bernafsu memenggal visi dan misinya.
Itulah yang menjadi alasan kesukaanku terhadap sholawat, karena bagiku sholawat ialah salah satu wujud mengekspresikan rasa cintaku pada beliau. Kini aku menjadi vokal qasidah dan tak pernah mau ketinggalan acara yang menyangkut nabi.
Saat itu pulalah aku seolah menemukan sebagian sosok nabiku ada pada dirimu, kebijakan yang memahat guratan wajahmu, ketulusan dan pengorbanan yang menguar dari tatapanmu, dan kasih sayang yang merekah di antara senyummu, dan saat aku mengenalmu, aku seolah dekat dengan Nabiku, hingga kencintaanku tumbuh pesat dan tak bisa kutahan, menjalar dan mengalir di tiap urat nadiku, maka malam Maulid berikutnya adalah awal kedua dari perjalanan cintaku pada Allah dan rasul-Nya dengan kau sebagai imamku, imam bagi anak-anakku. Malam itu, kau meminangku. Awal rumah tangga kita begitu indah, seperti rumah tangga Rasulullah dan Khadijah, atau Ali dengan Fatimah. Waktu seakan ingin kutahan agar tak bergerak dan tak dapat mengubah keharmonisan ini. Kau begitu perhatian dan pengertian. Jujur aku senang saat kau menggodaku, memanggilku dengan kata sayang, atau mengecup keningku saat kau hendak pergi, aku senang dengan semua perlakuanmu padaku. Dan saat itu aku merasa seolah sosok Nabiku yang kucintai ada padamu; memaksa kecintaan yang menggerogoti hatiku semakin kuat, membuatku betah di rumah untuk menunggumu pulang kerja, menunggu saat bersama. Kecintaanku padamu membuat aku memilih mengundurkan diri dari grup Qosidah, dengan alasan ingin mencurahkan waktuku untuk melayanimu. Saat aku mengatakan keputusanku itu padamu, kau terkejut dan menunjukkan raut wajah tak senang, walau tak begitu jelas kau tunjukkan namun sudah begitu jelas bagiku yang sudah sangat mengenalmu.
Bila kuberkata “aku paling suka lihat senyummu, mas!” kau akan sengaja memaksakan senyum selebar mungkin, membuatku cemberut “kok senyumnya gitu sih !” protesku dan dengan santainya kau berkata “ iya biar kamu cemberut” lalu sambil menjawil pipiku kau nyeletuk “soalnya senyum kamu jelek, manis cemberut” langsung saja mendengar begitu aku merajuk, merengek, protes, membuatmu tertawa, “kan mas Cuma bercanda, sayang!”
Dan di malam maulid berikutnya, aku memilih tidak mengikuti acara dan membatalkan pengajian di musholla karena ingin membuat masakan kesukaanmu. Kau berangkat lebih dulu dan menyangka aku akan menyusulmu.
Kecintaanku padamu yang membuatku semangat melakukan apa saja untuk suamiku tercinta, membatalkan apa saja demi dirimu. Tapi, ternyata keadaanya tak pernah kubayangkan setelah malam itu, sikapmu berubah dingin, bahkan kau tak pernah menyentuh atau seekdar tersenyum padaku. Aku bingung, apa salahku ? aku ingin menangis, dan berusaha menanyakan kesalahan apa yang telah kuperbuat padamu, tapi kau dengan tidak hiraunya selalu berkata “ Introspeksi dirilah, Nadia !” kata-kata yang malah membuatku semakin bingung. Rumah tangga kita terus berlangsung dengan kaku, tanpa ada sapaan atau apa yang dulu biasa kau lakukan. Aku menjadi tidak enak saat di dekatmu. Karena sikapmu begitu dingin.
Satu tahun berlalu, kau pulang kerja selalu terlambat, seakan kau ingin mempersingkat waktu di mana kita bisa bersama. Kau selalu tanpa senyum kebanggaanku itu.
Malam ini, malam Maulid Nabi, malam yang menjadi akhir cerita kita. Aku justru berada di sebuah ruangan yang aromanya membuatku pusing, ruangan yang didominasi warna putih. Bukan masjid, aku sedang menangis di depanmu, yang juga kebetulan malam ini tidak berada di perayaan Maulid Nabi. Kau justru terbaring lemas di ranjang dengan selang infus yang menancap di lengan. Malam itu, setelah lama aku memohon sambil menangis, kau akhirnya mau bicara, bahwa kau begitu karena ingin menolongku. Aku yang terlalu mencintaimu hingga melebihi rasa cintaku pada Allah dan rasul-Nya.
Malam ini aku berjanji padamu untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi rasa cintaku pada apapun. Kata-kata yang berhasil menghadirkan senyummu untuk terakhir kalinya (Adek)
cerpen ini dimuat di buletin Heart edisi 16, Februari 2013
Langganan:
Postingan (Atom)